KEWENANGAN POLISI UNTUK MENILANG STNK MATI


Pada dasarnya, secara umum pihak kepolisian berwenang untuk melakukan penindakan terhadap pemilik motor yang melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang lalu lintas. Tindakan yang diambil ini dapat berupa tindakan langsung atau sering disebut dengan tilang.

Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) adalah bukti bahwa kendaraan bermotor telah diregistrasi (Pasal 65 ayat [2] UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan - “UU LLAJ”) yang memuat data kendaraan bermotor, identitas pemilik, nomor registrasi kendaraan bermotor, dan masa berlakunya (Pasal 68 ayat [2] UU LLAJ).

STNK ini berlaku selama 5 (lima) tahun dan setiap tahunnya harus dimintakan pengesahan (Pasal 70 ayat [2] UU LLAJ). Juga, sebelum habis masa berlaku dari STNK tersebut, seharusnya wajib diajukan permohonan perpanjangan (Pasal 70 ayat [3] UU LLAJ).

Ketika masa berlaku STNK habis dan tidak diperpanjang, inilah yang kemudian sering disebut sebagai STNK mati. Sesuai Pasal 74 ayat (2) UU LLAJ jo Pasal 1 angka 17 Peraturan Kapolri No. 5 Tahun 2012 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor, registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor ini dapat dihapus dari daftar registrasi dan identifikasi kendaraan jika pemilik kendaraan bermotor tidak melakukan registrasi ulang atau memperpanjang masa berlaku STNK sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sejak masa berlaku STNK habis. Ini merupakan bentuk sanksi administratif bagi pemilik kendaraan bermotor.

Penghapusan dari daftar registrasi dan identifikasi kendaraan ini dapat berakibat kendaraan bermotor tersebut tidak dapat diregistrasi kembali (Pasal 74 ayat [3] UU LLAJ). Dalam hal kendaraan bermotor sudah tidak teregistrasi, maka kendaraan bermotor tidak dapat dioperasikan di jalan. Karena sesuai Pasal 68 ayat (1) UU LLAJ, setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di jalan wajib dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor. Dalam hal ini tentunya STNK yang dimaksud adalah STNK yang masih berlaku.

Lebih jauh diatur dalam Lampiran Surat Keputusan No. Pol.: SKEP/443/IV/1998 tentang Buku Petunjuk Teknis tentang Penggunaan Blanko Tilang bagian Pendahuluan No. 4 huruf a ayat (2) mengenai pelanggaran lalu lintas jalan tertentu dijelaskan bahwa sesuai penjelasan Pasal 211 KUHAP, mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak dapat memperlihatkan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Surat Tanda Uji Kendaraan (STUK), yang sah atau tanda bukti lainnya yang diwajibkan menurut ketentuan perundang-undangan lalu lintas jalan atau ia dapat memperlihatkan tetapi masa berlakunya sudah kadaluwarsa dapat digolongkan dengan Pelanggaran Lalu Lintas Jalan Tertentu.

Itulah yang menjadi dasar untuk seorang pemilik kendaraan bermotor yang STNK-nya mati dapat ditilang. Karena sesuai ketentuan dalam Pendahuluan No. 1 huruf a Lampiran Surat Keputusan No.Pol.: SKEP/443/IV/1998 tentang Buku Petunjuk Teknis tentang Penggunaan Blanko Tilang, “tilang merupakan alat utama yang dipergunakan dalam penindakan bagi pelanggar Peraturan-peraturan Lalu Lintas Jalan Tertentu, sebagaimana tercantum dalam Bab VI Pasal 211 sampai dengan Pasal 216 KUHAP dan penjelasannya.”

Selain itu, polisi juga memiliki wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 260 ayat (1) UU LLAJ bahwa “dalam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana, Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia selain yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berwenang:


  1. memberhentikan, melarang, atau menunda pengoperasian dan menyita sementara Kendaraan Bermotor yang patut diduga melanggar peraturan berlalu lintas atau merupakan alat dan/atau hasil kejahatan;
  2. melakukan pemeriksaan atas kebenaran keterangan berkaitan dengan Penyidikan tindak pidana di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
  3. meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum;
  4. melakukan penyitaan terhadap Surat Izin Mengemudi, Kendaraan Bermotor, muatan, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, dan/atau tanda lulus uji sebagai barang bukti;
  5. melakukan penindakan terhadap tindak pidana pelanggaran atau kejahatan Lalu Lintas menurut ketentuan peraturan perundang-undangan;
  6. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
  7. menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti;
  8. melakukan penahanan yang berkaitan dengan tindak pidana kejahatan Lalu Lintas; dan/atau
  9. melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab.”


Dengan demikian maka polisi memang berwenang untuk menilang jika STNK pengendara motor telah mati/habis masa berlakunya.

Dasar hukum:

  1. Peraturan Kapolri No. 5 Tahun 2012 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor;
  2. Surat Keputusan No. Pol.: SKEP/443/IV/1998 tentang Buku Petunjuk Teknis tentang Penggunaan Blanko Tilang.


CELANAKU HILANG DI KANAL VAN DER WIJK



Terus terang saja kisahku ini terpicu oleh tulisan mbak Marul salah satu kompasianer yang menulis sebuah puisi tentang kanal Van der Wijk yang merupakan saudara kembar kanal Mataram. Kanal Van der Wijck masih terlihat kokoh hingga detik ini dan merupakan saluran irigasi utama wilayah Yogyakarta yang mengairi 20.000 ha sawah. Ibarat darah yang mengaliri seluruh tubuh.

Kanal Van der Wijck merupakan bagian dari bangunan bersejarah non gedung yang dicanangkan oleh Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Nama Van der Wijk diduga merupakan pemimpin pembangunan kanal yang dibangun tahun 1909. Kanal tersebut dibangun pada saat Ngayogyakarto Hadiningrat dipimpin oleh seorang Raja yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Sedangkan kisah yang akan aku ceritakan ini ketika aku masih sekolah SMP di bangku kelas III yang salah satu kegemaran aku dan kawan-kawanku adalah mandi di kanal Van der Wijk tersebut, maklumlah namanya di desa memang tidak ada yang namanya kolam renang apalagi water boom atau water byuuur yang seperti di Gunung Kidul saat ini. Walaupun jenis “fasilitas” di kanal Van der Wijk ini, sebetulnya tidak kalah dengan fasilitas di water boom yang membedakan hanyalah sisi kwalitas dan keamanan yang jelas jauh ketinggalan karena hampir semua alami dan tidak sengaja dibuat untuk itu. Jadi bisa kita bayangkan andrenalin kita bakalan terpompa habis, karena salah perhitungan nyawa pun bakal melayang, alias mati tenggelam.

Aku dan kawan-kawanku dapat leluasa memilih tempat untuk main seluncuran, main lompat salto, berenang di arus tenang, berenang di arus berputar, berenang di arus deras, yang dangkal maupun yang dalam seperti di teleng Kedung Prahu. Kami pun sering main perahu dengan gedebog (batang) pisang atau tubing dengan memakai ban dalam truk maupun dengan kain sarung pun biasa kita lakukan.

Saat itu tidak ada yang mengenal rasa takut bermain air di kanal Van der Wijk, karena mungkin factor usia yang baru SMP yang diketahui hanya rasa senang saja. Hal tersebut tentu saja berbeda dengan orang tua kami…. Ya mereka takut kalau anak-anaknya ada yang mati tenggelam, walaupun kalau mau jujur mereka pun dulu juga melakukan hal serupa dengan anak-anaknya kini. Memang ada saja anak tetangga yang mati tenggelam namun juga tidak terlalu sering, meskipun demikian bagi semua orang tua juga akan mempunyai rasa kawatir yang sama terhadap anak-anaknya.

Oh ya aku mau berbagi sepenggal cerita yang tidak mungkin aku lupakan. Peristiwa membuat aku malu bingung walaupun sekarang malahan sering membuat aku ketawa kalau teringat kenakalanku waktu itu.

Seperti biasanya setelah aku pulang sekolah sehabis makan siang langsung ngabur bermain sama teman-teman sebayaku. Namanya anak desa memang tidak mengenal tidur siang apalagi pulang sekolah langsung kursus…..wah bisa membuat rambutku keriting kali. Siang hari kami bermain dari sekitar jam 13.00 sampai datangnya sholat Ashar, bahkan kadang sampai menjelang magrib juga belum pulang kalau tidak dicariin sama orang tua dengan gebukannya di tangan. Dan biasanya jika melihat salah satu dari orang tua kami ada yang datang, kami pun serentak lari bubar ke rumah masing-masing.

Namun saat itu, setelah aku pulang sekolah bersama teman-temanku langsung bersama-sama bersepeda pergi ke kanal Van der Wijk untuk berenang, yang tentu saja aku tidak minta izin ke orang tua karena bakalan dilarang mandi di kanal tersebut. Dan kami berlima sepakat untuk berenang di arus yang deras, yaitu di talang di atas kali Putih atau sekitar pohon randu yang diceritakan oleh mbak Marul tadi.

Talang ini merupakan pipa besi berbentuk setengah lingkaran yang merupakan penghubung kanal dari sisi satu ke sisi yang lain karena melewati di atas kali Putih. Diameter yang kecil kalau tidak salah hanya 1.5 meter dengan panjang sekitar 10 meter menyebabkan arus air di talang tersebut cukup deras. Selain itu lebar kanal Van der Wijk, sebelum masuk ke talang melalui “buk renteng” lebarnya sekitar 3 atau 4 meteran.

Sesampainya di tempat tersebut kami pun langsung bergegas mencopot seluruh pakaian kami alias berbugil ria. Yach jangan heran waktu itu aturan harus berpakaian untuk berenang memang tidak ada seperti di water boom di kota besar saat ini, jadi ya terpaksa pakai kulit alami masing-masing. Pakaian kami diletakkan di pinggiran kanal dan kami pun asyik menikmati derasnya aliran kanal di Van der Wijk tersebut.

Dengan memanfaatkan dorongan air di atas talang kami pun menghanyutkan diri dari Talang sampai ke Teleng (Dam) kira-kira jaraknya 500 meter. Dan kembali ke tempat semula dengan jalan berlarian di sepanjang bibir kanal tersebut, karena kalau lewat jalan air tidak mungkin melawan kuatnya arus air. Jadi ya berbugil ria lagi terus masuk ke air lagi, terus menghanyutkan diri lagi begitu dilakukan sampai kami pun bosan.
Jam sudah menunjukkan pukul 16.00 sore waktunya pulang, sebelum kena marah orang tua. Kami bergegas memakai pakaian masing-masing. Namun aku mulai kebingungan, karena sedari tadi celingukan mencari-cari celana kok nggak menemukan, sementara keempat temanku sudah bersiap di atas sepeda masing-masing.

Setelah aku cari dan tanyakan ke teman-temanku, aku berkesimpulan celana hilang mungkin tertiup angin terus jatuh ke air dan hanyut entah kemana. Waduh bingung nih…gimana pulangnya, masa sepanjang jalan raya naik sepeda tanpa celana….apa kata dunia?.. Hampir menangis rasanya membayangkan hal tersebut.

Setelah berembug dengan teman-temanku, kemudian seorang temanku segera pulang mengambil celana untuk dipinjamkan ke diriku. Hemm…lega rasanya dan kami pun bisa pulang bersama-sama dengan naik sepeda.

Artikel ini ditulis kembali oleh Nur Hudda Elhasani dengan judul semula "Malu, Di Kanal Van Der Wijk http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/03/03/malu-di-kanal-van-der-wijk-539649.html